Pro Kontra Islam Nusantara
Tema Islam nusantara belakangan ini menjadi tema yang hangat di kalangan para intelektual islam. Bahkan gagasan ini menjadi tema dalam Muktamar NU yang merupakan salah satu organisasi terbesar di Indonesia. Hal ini justru malah menjadi sindiran banyak pihak, karena di saat NU menggelar muktamar bertemakan Islam Nusantara yang konon katannya ramah dan santun akan tetapi yang terjadi justru sebalikya. Pembahasan tata tertib berlangsung cukup alot, kisruh dan aksi saling dorong. Seolah tidak sejalan dengan makna dari Islam Nusantara yang menjadi tema muktamar.
Istilah Islam Nusantara
Istilah Islam Nusantara menyeruak ke permukaan pasca penggunaan langgam jawa pada pembacaan Al-Qur’an saat peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW, 15 Mei 2015 di Istana Negara. Saat itu pro kontra tentang Islam Nusantara muncul. Sebut saja mamah Dedeh, Da’iyah yang terkenal lewat acara Tanya jawab keislaman di salah satu stasiun TV swasta dengan tegas mengatakan bahwa coret Islam Nusantara. Hal ini beliau sampaikan saat menjadi juri pada salah satu acara.
Di kubu Pro sempat terdengar kicauan tokoh Islam Liberal Ulil Absar Abdala. Dia mengatakan bahwa ciri Islam Nusantara adalah tidak memusuhi syi’ah dan menganggap mereka bagian sah dari umat Islam. Beda dengan Islam Wahabi atau simpatisannya, kicau ulil di akun @ulil.
Dalam sebuah tulisan yang berjudul “Meneguhkan Islam Nusantara untuk peradaban Indonesia dan Dunia” yang ditulis oleh KH. Afifuddin Muhajir. Dalam tulisan tersebut disebutkan bahwa sebenarnya Islam Nusantara adalah bagaimana mengakomodir ‘urf atau kebiasaan dalam berislam. Beliau juga memaparkan bahwa banyak kaidah-kaidah fikih yang menekankan pada konsep waqi’iyah (realistis).
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan akomodasi ‘urf (kebiasaan setempat) dan prinsip waqi’iyah tadi selama keduanya tidak digunakan untuk merusak sendi-sendi agama yang sudah baku dan paten (baca; Tsawabit). Akan tetapi permasalahan akan terjadi jika istilah Islam Nusantara digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab sebagai wacana untuk melakukan deislamisasi seperti yang dicontohkan Ulil di atas. Contoh lainnya adalah apa yang disampaikan oleh Komaruddin Hidayat, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah yang menyatakan bahwa pakaian adat wanita Arab (Baca : Jilbab) yang hidup di padang pasir tidak bisa dipaksakan kepada wanita Indonesia yang berbudaya maritim.
Peng-istilahan Islam Nusantara, selain rawan dieksploitasi oleh kaum Liberal dan Sekuler juga sebenarnya bertentangan dengan universalitas ajaran Nabi Muhammad SAW. Allah swt berfirman :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةَ لِلنَّاسِ بَشِيْرًا وَ نَذِيْرًا (سبأ : 28)
Artinya : “Dan tidaklah kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan kepada seluruh manusia sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.” (QS : Saba’ 28)
Mengomentari ayat ini mufassir dari kalangan Tabi’in yaitu Qatadah berkata: “Allah mengutus nabi Muhammad SAW kepada bangsa Arab dan Non Arab . Dan yang paling mulia di antara mereka di sisi Allah adalah yang paling taat kepada Allah”
Dalam ayat lain Allah berfirman (artinya): “Katakanlah (wahai Muhammad) “Wahai manusia, saya adalah utusan Allah kepada kalian semua.” (QS. Al-A’raf 158).
Dari ayat ini jelas bahwa Islam merupakan agama yang cocok dan relevan untuk semua bangsa, suku dan ras. Maka tidak perlu lagi pengotak-ngotakan dengan nama yang rawan disalah-gunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Islam ya Islam saja. Wallahu a’lamu bish shawab.
Oleh: Ust. Miftahul Ihsan, Lc
Disunting dan di publish oleh Hafidz bey