Kisah Baqi’ Bin Makhlad Rela Berjalan Kaki Dari Spanyol Ke Iraq
Adalah Baqi bin Makhlad, ketika mendengar tentang Ahmad bin Hambal, ia nekad menyeberangi Selat Giblartar, semangat menapaki terjal jalan Maroko, menembus gurun pasir Libiya, melewati suburnya lembah Nil Mesir, hingga ia sampai di Baghdad, kota Imam Ahmad bin Hanbal. Perjalanan panjang dari tanah Andalusia menuju Iraq, ia lalui dengan hanya berjalan kaki.
Baqi bin Makhlad tanpa kepastian yang akan ia dapat. Telah nyaris sampai ia di Baghdad saat sebuah kabar datang kepadanya. Imam Ahmad bin Hanbal mendapat hukuman dari penguasa. Ia dilarang bergaul dengan masyarakat, dan masyarakat pun dilarang belajar darinya. Imam Ahmad telah diboikot.
Baqi bin Makhlad terguncang, sedih, kecewa. Perjalanan panjang yang ia lalui seolah akan jadi sia-sia. Spayol menuju Iraq, bukan perjalanan mudah, butuh kesabaran, kekuatan, dan keinginan yang tidak main-main besarnya.
Tak ingin terpuruk lama, ia tetap melanjutkan perjalanannya ke Baghdad, tanahnya para ulama. Mencari penginapan, meletakkan barang bawaan, kemudian ia segera menuju Masjid Jami’ Al-Kabir, sekedar duduk di majlis ilmu, mendengarkan pengajian yang ada.
Baqi bin Makhlad beruntung, karena di masjid,sebuah pengajian bagus sedang berlangsung.Jamaah mulai memadat, tanda pengajiantersebut memang sarat manfaat.
“Ini pengajian siapa?” Baqi berbisik kepada lelakidi sebelahnya.
“Oh, ini pengajian Yahya bin Ma’in,” jawab si lelaki.
Mendengar nama Yahya bin Ma’in, semangat Baqi bin Makhlad menyala. Rasa haus ilmu memuncak tiba-tiba. Ia tahu, bahwa lelaki yang kini memberi pengajian bukan orang biasa. Yahya bin Ma’in, ulama hadits terkemuka. Ia segera mencari kesempatan, tak ingin duduk di belakang. Melihat sebuah tempat kosong di dekat sang guru, ia segera pindah duduk di sana.
Pertanyaan demi pertanyaan tetang haditspun ia lontarkan hingga pada pertanyaan yang terpenting yang menjadi tujuannya datang ke tanah Baghdad. Dan ia harus mendapatkan jawabannya.
“Wahai guru, saya ingin bertanya mengenai seorang lelaki, bernama Ahmad bin Hanbal,”
Raut Yahya bin Ma’in berubah. Ia terdiam sejenak. Lelaki yang ditanyakan oleh Baqi bin Makhlad bukanlah lelaki yang patut dipertanyakan.
“Apakah lelaki sepertiku berhak berkomentar mengenai Imam Ahmad bin Hanbal? Beliau, tak ragu lagi, adalah Imam umat Islam, lelaki terbaik yang dimiliki umat!”
Baqi bin Makhlad kini berada di depan sebuah rumah. Seorang lelaki di jalanan Baghdad memberi tahunya kalau rumah ini adalah rumah yang ia cari. Ia mengetuk, menunggu, hingga seorang lelaki muncul dari balik pintu. Dialah Imam Ahmad bin Hanbal.
Rasa heran terlihat dari gurat wajah sang Imam. Lelaki yang mengetuk pintunya terlihat asing. “Lelaki ini pasti bukan dari Baghdad,” gumamnya.
“Wahai Imam Ahmad, saya adalah lelaki asing di sini, perantau,” Baqi menjelaskan siapa dirinya. Benar dugaan sang Imam.
“Ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di Baghdad. Saya adalah pencari dan penghimpun hadits Nabi Saw. Makanya, saya rela menempuh perjalanan jauh dari tanah air saya demi mendapatkan riwayat hadits dari Anda,” wajah Baqi bin Makhlad terlihat penuh harap.
“Sungguh perjalanan jauh telah kau lalui. Dan sungguh, aku sangat ingin membantumu dalam urusan ini. Tapi, ku rasa, bukankah kau sudah tahu keadaanku? Kau tahu kalau saat ini aku diboikot bukan?”
“Ya, Imam. Saya sudah tahu. Kabar itu kudapat sesaat sebelum aku memasuki gerbang Baghdad,” Baqi menjawab lesu.
Sesaat suasana hening. Keduanya terdiam. Imam Ahmad merasa sayang melihat perjuangan berat yang telah dilalui Baqi. Baqi pun tak ingin perjuangannya sia-sia. Ia berpikir, bagaimana caranya agar ia tetap bisa belajar kepada Imam Ahmad tanpa mendapatkan hukuman dari Sultan.
Sebuah ide gila muncul di benaknya.
“Wahai Imam! Saya punya sebuah solusi,” wajah Baqi terlihat cerah.
“Apa itu?” Imam Ahmad penasaran.
“Jika Imam mengijinkan, saya akan datang kemari setiap hari, menyamar sebagai pengemis. Nanti, saya akan berdiri di depan pintu, memanggil meminta layaknya pengemis. Saat itu saya punya kesempatan untuk berguru kepada Imam. Satu hadits sehari pun cukup bagi saya. Bagaimana menurut Imam?” Imam Ahmad pun akhirnya menyetujinya.
Kegiatan belajar tentang haditspun berlangsung setiap hari. Sedikit demi sedikit Baqi bin Makhlad mengumpulkan hadits hingga mencapai sekitar 300 hadits.
Demikialah antusianya Baqi bin Mukhalad dalam menuntut ilmu. Dibanding Baqi bin Makhlad, ada dimana posisi kita? Sudahkah perjuangan kita sehebat perjuangannya yang berjalan kaki melewati 7 negara? Sudahkah kesabaran kita seperti kesabarannya yang rela berpenampilan seperti pengemis demi beberapa hadits setiap harinya? Sudah berapa jam telah kita sia-siakan, sudah berapa ilmu yang kita hiraukan?
Setiap kita memiliki singa dalam dirinya. Namun beberapa singa terlelap, merasa kenyang akan sesuatu yang sebenarnya tak ada manfaatnya. Semoga kisah perjuangan Baqi bin Makhlad ini bisa membangunkan singa tersebut, agar ia bisa mengaum menunjukkan taringnya. Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.
Video Keteladanan Imam Baqi’ Bin Makhlad
Sumber bacaan: Shafahat min Shabril Ulama’ karangan Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah