Keberanian adalah mengekang jiwa dari dorongan-dorongan rasa takut, sehingga manusia tidak takut dalam kondisi-kondisi yang memerlukan keberanian. Bagi seorang Muslim, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan terbaik dalam hal keberanian. Keberanian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah teruji dalam situasi dan kondisi apapun; kondisi lemah, kondisi krisis, kondisi aman, kondisi kuat, hingga kondisi peperangan.
Para aktivis Muslim yang bergerak di bidang dakwah perlu mempelajari berbagai macam potret keberanian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghadapi berbagai masalah keumatan.
Dengan mempelajari dan meresapi potret keberanian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terserak di pelbagai lembaran Turats Islami, diharapkan bisa menjadi amunisi mental bagi para Da’i dalam mengarungi medan dakwah yang tantangannya terkadang sulit untuk diprediksi, terutama dalam hal menghadapi pihak-pihak yang menghalangi dakwah Islam.
Keberanian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Pertempuran Badar Kubra
Termasuk sikap dan tindakan beliau yang penuh dengan hikmah dalam pertempuran badar ini, beliau mengajak manusia untuk bermusyawarah sebelum memulai peperangan. Beliau ingin mengetahui volume semangat kaum Anshar untuk berperang, sebab beliau telah mensyaratkan mereka dalam peristiwa Baiat Aqabah agar mereka mau membela dan melindungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah sebagaimana mereka melindungi jiwa, harta, anak, dan istri-istri mereka. Adapun di luar Madinah, mereka tidak terikat dengan satu syarat pun, itulah alasan mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin mengajak mereka bermusyawarah.
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan mereka untuk memulai musyawarah. Abu Bakar berdiri mennyampaikan pendapatnya dengan baik, kemudian disusul Umar bin Khattab yang juga berdiri untuk menyampaikan pendapatnya.
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta pendapat mereka lagi. Berdirilah Miqdad. Ia berkata, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, laksanakanlah apa yang diperintahkan Allah ‘Azza wa Jalla kepadamu dan kami akan menyertaimu. Demi Allah ‘Azza wa Jalla, kami tidak akan berkata kepadamu sebagaimana perkataan Bani Israil kepada Musa, saat itu mereka berkata, ‘Pergilah kamu wahai Musa Bersama Tuhanmu dan berperanglah berdua, sedang kami duduk dia di sini’. Tetapi kami akan berkata, ‘Pergilah kamu bersama Rabbmu dan berperanglah, kami akan bersama kalian berdua dan siap berperang bersamamu, kami akan berperang dari sisi kananmu dan dari sisi kirimu, di depanmu dan di belakangmu’.
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta pendapat yang lainnya untuk ketiga kalinya. Maka pahamlah kaum Anshar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud meminta pendapat mereka.
Dengan segera Sa’ad bin Muadz berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seakan-akan engkau menginginkan kami.”
Dan memang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin mengetahui pendapat mereka, karena mereka telah berbaiat kepada beliau akan selalu membela dan melindunginya dari orang berkulit merah maupun hitam dari bahaya yang mengancam ketika beliau berada di negeri mereka (Madinah). Maka ketika beliau hendak keluar dari Madinah, beliau mengajak mereka bermusyawarah untuk mengetahui pendapat dan kesetiaan mereka.
Sa’ad bin Muadz berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, seakan-akan engkau khawatir bahwa kaum Anshar tidak memiliki kewajiban membela engkau di luar negeri mereka (mengingat isi baiat yang mereka ucapkan), yakni mereka tidak mau menolong engkau kecuali jika berada di negeri mereka. Sekarang aku akan berkata atas nama kaum Anshar (dan aku yang akan bertanggung jawab jika ada perselisihan di antara meraka). Maka berangkatlah kemanapun engkau suka, dan sambunglah tali silaturrahmi kepada orang yang engkau kehendaki, kemudian putuslah hubungan dengan orang yang engkau kehendaki, ambillah dari harta kami yang engkau kehendaki, dan berilah kepada kami (bagian ghanimah) seberapapun yang engkau kehendaki.”
Sa’ad melanjutkan kalimatnya, “Harta engkau ambil dari kami itu lebih kami cintai ketimbang yang engkau tinggalkan untuk kami. Dan apa yang engkau perintahkan kepada kami maka perkara kami mengikuti perkaramu.”
“Demi Allah, seandainya engkau berjalan hingga sampai ke telaga Ghamdan, niscaya kami akan ikut serta bersamamu, demi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran, seandainya engkau menghadapkan kami pada sebuah laut kemudian engkau menyeberanginya, niscaya kamipun akan ikut menyeberanginya bersamamu. Tak seorangpun dari kami yang menyelisihi. Kami tidak merasa benci untuk bertemu musuh besok pagi. Kami akan bersabar di medan perang, dan kami jujur menghadapi musuh.”
“Semoga Allah ‘Azza wa Jalla memperhatikanmu dari perbuatan kami sesuatu yang menyejukkan pandanganmu, maka berangkatlah Bersama kami atas barakah dari Allah ‘Azza wa Jalla.”
Seketika itu wajah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tampak berseri-seri dan beliau sangat gembira dengan sesuatu yang telah didengarnya. Bahkan menjadikannya lebih bersemangat, kemudian beliau bersabda,
سِيْرُوْا وَأَبْشِرُوا، فَإِنَّ اللهَ قَدْ وَعَدَنِي إِحْدَى الطَّائِفَتَيْنِ، وَاللهِ لَكَأنِّي الْآنَ أَنْظُرُ إِلَى مَصَارِعِ الْقَوْمِ
“Berangkatlah dan berilah kabar gembira, sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah menjanjikan kepadaku salah satu dari dua kelompok, sungguh seakan-akan aku sekarang melihat pertempuran sebuah kaum.” (Sirah Ibnu Hisyam, 2/253; Fathul Bari, 7/287; Zadul Ma’ad, 3/173; Rahiqul Makhtum, 200)
Di antara sikap beliau yang agung dalam perang badar ialah bersandarnya kepada Allah ‘Azza wa Jalla, karena beliau mengetahui bahwa kemenangan itu bukan karena banyaknya jumlah dan lengkapnya persenjataan, tetapi karena pertolongan Allah ‘Azza wa Jalla yang disertai dengan mengambil sebab (usaha) dan bergantung hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Diriwayatkan dari Umar bin Khattab, ia berkata, “Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat jumlah kaum musyrikin ada seribu, sedang sahabatnya hanya berjumlah 319 orang. Maka beliau memalingkan wajahnya ke arah kiblat sembari menengadahkan kedua tangannya, lalu berdoa memanggil Rabbnya,
اللَّهُمَّ أَنجِزْ لي ما وَعَدْتَني، اللَّهُمَّ إنَّكَ إنْ تُهلِكْ هذهِ العِصابةَ مِن أهْلِ الإسلامِ، فلا تُعْبَدُ في الأرضِ أبدًا
“Ya Allah, turunkan kepadaku apa yang telah Engkau janjikan kepadaku, Ya Allah, jika engkau hancurkan kelompok ahlu Islam ini maka engkau tak akan disembah oleh penduduk bumi untuk selamanya.”
Beliau terus-menerus bermunajat dengan Rabbnya. Menengadahkan kedua tangannya dan menghadap ke arah kiblat hingga jatuhlah sorban yang ada di pundak beliau.
Abu Bakar datang mengambil sorban beliau dan meletakkan kembali di pundak beliau. Lalu Abu Bakar duduk di belakang beliau dan berucap, “Wahai Nabi Allah, cukuplah engkau bermunajat dengan Rabbmu, sesungguhnya Dia akan memenuhi janji-Nya kepadamu.”
Kemudian pada waktu itu Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat-Nya,
إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُمْ بِأَلْفٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُرْدِفِينَ
“Ingatlah, ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankannya bagimu, ‘Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.’” (QS. Al-Anfal: 9)
Setelah itu Allah ‘Azza wa Jalla mendatangkan para malaikat kepada mereka sebagai bala bantuan. (HR. Muslim, 3/1383; Rahiqul Makhtum, 208)
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari kemah seraya membaca ayat,
سَيُهْزَمُ الْجَمْعُ وَيُوَلُّونَ الدُّبُرَ
“Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.” (QS. Al-Qamar: 45)
Ketika peperangan telah berkecamuk, beliau ikut terjun ke kancah peperangan, bahkan beliau adalah orang yang paling keras pukulan pedangnya, paling kuat dan paling berani, bersamanya Abu Bakar sebagaimana ketika masih berada di dalam kemah. Beliau berdua bermujahadah dengan doa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan dengan tunduk pengharapan, kemudian mereka berdua terjun ke kancah peperangan memotovasi dan mendorong sahabat-sahabat yang lain untuk bertempur. Berliau berdua ikut berperang langsung dengan tubuh mereka berdua untuk memadukan antara dua kekuatan yang mulia. (Bidayah wa Nihayah, 3/278) Di sinilah tampak keberanian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau adalah orang yang paling berani, sebagaimana diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata, “Sungguh kami melihat betapa dahsyatnya pertempuran di perang badar. Karena itu kami berlindung kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau adalah orang yang paling dekat dengan musuh, dan beliau adalah orang yang paling berani menerjang musuh.” (HR. Ahmad dalam Musnad Imam Ahmad, 1/86; HR. Hakim dalam Shahih-nya, 2/143)
Diriwayatkan juga oleh Ali bin Abi Thalib, ia berkata, “Apabila pertempuran telah berkecamuk, dan pasukan telah bertemu dengan pasukan, kami berlindung di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada seorangpun yang paling dekat jaraknya dengan musuh selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Al-Hakim, 2/143)
Keberanian Beliau Pada Perang Uhud
Termasuk bukti keberanian dan kesabaran beliau dalam menghadapi celaan dan penganiyayaan dari kaumnya sendiri adalah apa yang beliau lakukan di perang uhud. Dalam peristiwa itu, keberanian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar tampak. Beliau ikut bertempur dengan semangat tempur yang hebat, hingga pada putaran pertama kemenangan di tangan kaum Muslimin. Musuh-musuh Allah ‘Azza wa Jalla terpecah porak-poranda dan memaksa mereka lari mundur hingga tinggal barisan wanitanya saja.
Ketika pasukan pemanah yang berada di puncak gunung melihat kehancuran kaum musyrikin, mereka meninggalkan pos yang telah diinstruksikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap dijaga. Mereka menyangka bahwa kaum musyrikin tidak akan kembali, sehingga mereka meninggalkan pos untuk mencari ghanimah. Akhirnya pos mereka kosong dari penjagaan.
Melihat celah kosongnya pos di puncak bukit, kaum musyrikin berbalik merebut dan menempati pos yang ditinggalkan oleh pasukan pemanah kaum Muslimin. Akhirnya mereka berhasil menguasai medan pertempuran dan memukul mundur kaum Muslimin. Situasi berbalik.
Dengan kekalahan kaum Muslimin pada putaran yang kedua itu, Allah ‘Azza wa Jalla memuliakan orang yang dimuliakan dari mereka dengan kesyahidan. Mereka berjumlah tujuh puluh orang.
Kemudian kaum musyrikin mengepung Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berhasil melukai wajah beliau, memecahkan gigi tengahnya sebelah kanan bagian bawah, dan mereka menancapkan mata rantai ke kepala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang sahabat yang masih bisa bertahan melawan mereka dengan sekuat mungkin melindungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari serangan kaum musyrikin. (Zaadul Ma’ad, 3/196; Rahiqul Makhtum, 255,256)