Bahagia dengan Taat, Sengsara dengan Maksiat
Oleh: Ust. Oemar Mita, Lc.
Hidup adalah perputaran segala macam dan ragam masalah serta tak pernah sepi dari pusaran konflik. Karena tidaklah dunia itu diciptakan kecuali salah satu tujuanya sebagai ujian bagi setiap hamba Alloh. Tapi dunia pun bisa menjadi indah dan cantik ketika ia dilihat dari pojok kehidupan dengan kaca mata kebaikan. Artinya tata cara kita memandang hidup sangat menentukan cita rasa dunia.
Syaikh Abdurrhman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan dalam buku beliau Al Wasaail lil Hayah Sa’idah, “Dunia itu pendek maka janganlah engkau memendekkanya dengan dengan kesedihan dan kemaksiatan. Karena muara segala hal tersebut hanya akan menjadikan dunia yang hina menjadi lebih hina dina. Dan ragam masalah yang di dalamnya tak layak menyita akhirat.”
Maka kesedihan membentuk cita rasa dunia menjadi hambar dan kemaksiatan menjadikan hidup tak berkualitas dan sepi kenikmatan hati. Allah berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُوْنَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”(QS. An Nahl : 97).
Abdullah bin Abbas Radiyallahu anhuma, menafsirkan, “kehidupan yang baik,” dengan As Sa’adah (kebahagiaan)
Sedang Abu Bakar Al Waraq Rahimahullah menafsirkannya dengan “lezatnya ketaatan”
Abdurrahman bin Nashr As Sa’di Rahimahullah, menafsirkannya dengan ketenangan jiwa dan hati serta tidak terpengaruh dengan adanya yang menggangu ketenangan hatinya, sehingga Allah memberikan rezki yang baik dan halal kepadanya dari jalan yang tidak disangka-sangka.
Abul Fida’ Ibnu Katsir Rahimahullah, berkata, “Kehidupan yang baik mencakup seluruh bentuk kelapangan dari segala sisi.”
Sebagaimana Urwah bin Zubair yang ketika sakitnya mengharuskan kakinya diamputasi. Para tabib menyarankan untuk meminum khamer supaya tidak terasa sakitnya. Tapi beliau menolak dan lebih memilih diamputasi kakinya ketika sedang khusuk berdzikir. Sehingga ketika kakinya sudah terputus dan diguyur air panas barulah beliau pingsan.
Demikian pula kebahagian Ummu Khansa yang harus merelakan empat anaknya meninggal dalam jihad fi sabilillah tapi ia tersenyum bahagia tanpa tergores kesedihan.
Ketaatan dan penghambaan kepada Allah dengan ibadah layaknya rempah-rempah yang bisa menjadikan hidup menjadi nikmat dan gurih karena ia merubah hidup menjadi lebih hidup.
Maka tawaran kemaksiatan serta dosa tak selayaknya dijadikan pilihan hidup, karena muaranya pasti goresan dosa serta kemaksiatan yang hanya menjadikan keresahan jiwa dan kekacauan hidup, seraya tersenyum di bibir tapi menangis di dalam hati. Sehingga indahnya hidup ketika meramaikannya dengan ketaatan dan nistanya hidup ketika berselimutkan dosa plus kemaksiatan. Barakallah fikum