Kesungguhan para ulama terdahulu untuk mendalami ilmu pengetahuan sangatlah besar. Mereka rela mengorbankan banyak waktu dan tenaga mereka untuk membaca dan mendalami ilmu-ilmu syar’i.
Membaca merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh para penuntut ilmu jika mereka ingin mendapatkan ilmu yang banyak dan berkah.
Alasan kenapa kita sebagai penuntut ilmu harus membaca adalah karena ilmu itu didapat dengan banyak cara. Dan salah satu cara untuk mendapatkan ilmu adalah dengan membaca buku-buku pengetahuan yang ada.
berikut ini kita akan membahas satu ulama dari ribuan ulama yang ada, yang mana ulama ini memiliki kekuatan yang luar biasa, memiliki semangat yang sangat membara untuk menuntut ilmu dan mempelajarinya.
Al Khatib Al Baghdadi Khatam Shahih Al-Bukhari dalam 3 Kali Pertemuan
Ada sebuah Mahfudzat atau kata mutiara arab yang berbunyi:
خَيْرُ جَلِيْسٍ فيِ الزَّمَانِ كِتَابٌ
“Sebaik-baik teman duduk setiap waktu adalah buku”
Dari kata mutiara di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa buku sangat bermanfaat untuk manusia. Buku akan memberikan kebahagiaan bagi manusia yang mau berteman denganya.
Al Jahizh seorang cendikiawan arab merangkai sebuah ungkapan indah untuk menggambarkan tentang buku, ia berkata “Buku adalah teman duduk yang tidak akan memujimu dengan berlebihan, sahabat yang tidak akan menipumu, dan teman yang tidak membuatmu bosan. Dia adalah teman yang sangat toleran yang tidak akan mengusirmu. Dia adalah tetangga yang tidak akan menyakitimu. Dia adalah teman yang tidak akan memaksamu mengeluarkan apa yang kamu miliki. Dia tidak akan memperlakukanmu dengan tipu daya, tidak akan menipumu dengan kemunafikan, dan tidak akan membuat kebohongan”.
Di Antara kebiasaan para ulama adalah mengisi waktu duduk “mereka dengan membaca buku-buku tebal dari berbagai disiplin ilmu} yang ada (terutama dari buku-buku hadits yang bersanad). Maka tidak mengherankan jika banyak manusia yang mengambil buku-buku hadits tersebut dari pengarangnya secara langsung, atau dari seseorang yang memih‘ki riwayat bersambung sanadnya. Baik dia menden’garkan semua atau sebagian darinya, atau melalui rekomendasi sebagian atau seluruhnya. Semakin berkurangnya majelis ilmu serta pengkajian buku-buku para ulama itu menjadi satu paket dengan semakin mundurnya zaman yang disebabkan. Di samping semakin surutnya peredaran buku bacaan yang membahas hadits, terutama buku-buku yang sudah masyhur, atau yang ditulis oleh ulama tersohor yang tidak diragukan lagi keilmuannya.
Sebuah majelis ilmu bisa berlangsung lama, juga bisa berlangsung singkat, yaitu sesuai dengan tujuan dari pengkajian, senggangnya waktu sang syaikh, kesiapan penuntut ilmu, serta sulit mudahnya tema buku yang dibahas.“”1
Tidakdiragukanlagibahwa membaca danmembahas buku-buku tebal hanya dalam beberapa pertemuan, tentunya membutuhkan banyak faktor, baik faktor tersebut dari syaikh maupun penuntut ilmu itu sendiri. Di antara faktor tersebut adalah pengetahuan terhadap buku yang dibaca, kuatnya ingatan, kefasihan bahasa, serta kecepatan membaca. Faktor lain yang juga ikut menentukan adalah tekad kuat, cita-cita tinggi, dan kesabaran. Barangsiapa telah memenuhi semua kriteria ini, niscaya besi yang keras akan menjadi lunak, dan perkara yang sulit akan menjadi mudah.
Nama beliau adalah Abu Bakar Muhammad Ahmad bin Ali bin Tsabit, terkenal dengan nama “Al Khathib Al Baghdadi”. Ia yang menulis kitab terkenal Kitab Tarikh Baghdad.
Ia lahir pada tahun 392 H di Iraq dan Ayahnya bernama Khatib Darzanjan menyuruh anaknya memperdalam ilmu hadits sejak kecil (tahun 403H). Ia mengembara ke bebagai wilayah untuk memperdalam ilmu hadits.
Ia menyimak hadits dari sejumlah besar kalangan muhadditsin yang tsiqah dari berbagai wilayah seperti Baghdad, Bashrah, Naisabur, Ashbahan, Dainur, Hamadan, Kufah, Haramain, Damaskus, al Quds dan lain lainnya. Ia juga merantau ke Syam (Syiria) pada tahun 451 H dan menetap disana selama 11 tahun.
Dalam Tarikh Baghdad163 pada biogran Ismail bin Ahmad lbnu Abdullah Adh-Dharir Al-Khiri (w. 430 H), Al-Khatib menceritakan bahyvasanya beliau ingin memperdengarkan bacaan Shahfh AlBukhari-‘Lyang dia dengar dari AI-Kusymihani164 yang bersumber dari AI-Firabri‘SS-pada Ismail bin Ahmad. Kemudian Syaikh Ismail pun memenuhinya. Dalam ceritanya itu Al-Khatib berkata, “Aku membaca seluruhnya dalam tiga kali pertemuan, dua darinya pada dua malam, yang aku mulai sesudah shalat Maghrib dan aku hentikan ketika shalat Subuh hampir tiba. Pada pertemuan ketiga sebelum aku membaca, Syaikh Ismail bin Ahmad beserta rombongan pergi ke tepi timur dan bersinggah di pasar Yahya di sebuah pulau. Maka aku pun mengikuti beliau bersama teman-temanku yang ikut hadir pada pembacaan pertama dan keduaku yang Ialu. Pada kesempatan ketiga inflah aku membaca di hadapannya sejak waktu Dhuha hingga menjelang Maghrib di pulau tersebut. Kemudian dilanjutkan setelah Maghrib sampai terbit fajar Subuh. Aku pun mengkhatamkan Shahfh Al-Bukhari pada hari itu. Dan keesokan hafinya Syaikh melanjutkan perjalanannya bersama rombongan.”
Sungguh alangkah tinggi dan jauhnya cita-cita ini! Apakah Anda pernah mendengar seseorang yang memiliki cita-cita dan tekad seperti beliau? Di hari ketiga beliau habiskan waktunya » untuk membaca (dari waktu Dhuha sampai Maghrib, dari Maghrib sampai menjelang shalat Subuh). Dengan cita-cita ini, Al-Khatib telan menggapai apa yang diidam-idamkannya. Dengan cita-cita in; juga beliau\mendapat julukan Hafizh AI-Masyriq. Dengan cita-cita ini pula beliau menjadi rujukan dan sandaran para ahli hadits. Bahkan, mereka sangat bergantung dengan buku-buku yang beliau tulis, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Nuqthah.167
Komentar-komentar tentang kisah ini:
- Al-Hafizh Adz-Dzahabi di dalam As-Siyar168 mengomentari kisah ini, “Demi Allah, ini adalah bacaan tercepat yang belum pernah terdengar sebelumnya.”
- Dalam Tarfkh AI-Islam‘69 beliau juga menuturkan, “Menurutku ini adalah bacaan yang tak seorang pun mampu melakukannya pada zaman ini.”
- Dalam AI-Jawahir Wa Ad-Durar FT Tariamah Syaikh Al-lslam lbn Hajar‘7° As-Sakhawi pernah bertanya kepada gurunya, Ibnu Hajar, “Apakah Anda pernah menghabiskan waktu seharian penuh untuk membaca? (maksudnya seperti yang dilakukan oleh AI-Khatib).” Ibnu Hajar menjawab, “Tidak pernah. Tetapi aku pernah mengkhatamkan Shahfh Al-Bukhdrf da’lam sepuluh kali pertemuan. Sekiranya dahulu dirutinkanmungkinakankurangdarisepuluhharitersebut.Bagaimana mungkin bintang yang ada di Iangit disamakan dengan tanah yang selalu di bawah? Sungguh AI-Khatib as sangat bagus bacaannya¢ bisa dimengerti, dan dipahami oleh para pendengarnya.”
Banyak ulama yang meriwayatkan hadits darinya termasuk gurunya sendiri Ahmad al Bargani (Baghdad), Ibnu Makula berkata,” Al Khatib adalah tokoh terkenal terakhir yang kami akui kepintarannya, hapalannya, ke dhabith annya tentang hadits hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, juga kelihaiannya dalam mengetahui illat illat dan sanad sanadnya, serta mengetahui akan shahih, gharib, ahad, mungkar atau matruknya sebuah hadits”. Ia melanjutkan ,” Tidak ada orang Baghdad setelah Daraquthni yang sekaliber al Khatib”.
Sebelum wafatnya ia menyedekahkan seluruh harta nya senilai 200 Dinar kepada para Ulama dan Kaum Faqir, bahkan ia berwasiat agar menyedekahkan kitab kitabnya kepada kaum muslimin.
Ia wafat pada tahun 463 H