Hari ini banyak kaum muslimin yang ketika dikritik akan perbuatan yang telah dilakukannya dia tidak terima dan marah. Padahal kritikan yang ditujukan kepada kita pasti memiliki alasan dan sebab musababnya.
Nah kali ini majalah taujih akan memberikan artikel mengenai Adab-adab seorang muslim ketika sedang dikritik, apa saja yang harus dilakukan dan apa saja yang harus dihindari.
Terima Kritikan dengan Lapang Dada
Betapa banyak orang yang tidak mau menerima kritikan dari orang lain. Mereka mengangap kritikan sebagai sikap merendahkan harga diri. Sehingga mereka enggan dan gengsi menerimanya. Padahal kritikan adalah obat bagi diri. Dengan kritikan seseorang akan bisa mengoreksi kekurangan-kekurangannya kemudian memperbaikinya. Oleh karena itu sudah seharusnya seorang pencari ilmu selalu membuka diri untuk menerima kritikan dari orang lain.
Apalagi Rasulullah SAW telah bersabda:
الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ
“Orang mukmin itu merupakan cermin bagi mukmin lainnya.” (HR. Abu Dawud)
Atau dalam lafazh lain disebutkan:
إِنَّ أَحَدَكُمْ مِرْآةُ أَخِيهِ فَإِنْ رَأَى بِهِ أَذًى فَلْيُمِطْهُ عَنْهُ
“Sesungguhnya seorang dari kalian cermin bagi saudaranya, jika dia melihat ada aib padanya maka hendaknya dia menghilangkannya darinya.” (HR. At Tirmidzi)
Seorang mukmin sebagai cermin bagi mukmin lainnya artinya ia berfungsi untuk melihat kebaikan dan keburukan saudaranya dan menjelaskannya. Dan penjelasannya berupa nasehat yang jelas. Demikian pula ia bisa melihat pada saudaranya apa yang tidak bisa dilihat pada dirinya. Sebagaima ketika menulis di atas cermin, maka akan ada bayangan pada cermin tersebut, sehingga ia bisa melihatnya. Sesungguhnya seseorang akan mengetahui aib dirinya dengan diberi tahu oleh saudaranya. Sebagaiamana ia mengetahui sesuatu yang ada di wajahnya dengan melihat cermin. (Aunul Ma’bud)
Begitu pula diriwayatkan Bukhari :
إِذَا اسْتَنْصَحَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيَنْصَحْ لَهُ
“Jika saudaramu minta nasehat maka nasehatilah.”
Demikianlah di antara sifat orang mukmin. Yaitu mau menerima kritikan, nasehat dan peringatan dari orang lain. Allah berfirman:
وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانً
“Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta.” (QS. Al-Furqan: 73)
Imam Jalaluddin Al-Mahalli rhm berkata, “Maksudnya, (Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan) diberi nasihat dan pelajaran (dengan ayat-ayat Rabb mereka) yakni Alquran (mereka tidak menghadapinya) mereka tidak menanggapinya (sebagai orang-orang yang tuli dan buta) tetapi mereka menghadapinya dengan cara mendengarkannya sepenuh hati dan memikirkan isinya serta mengambil manfaat daripadanya.” (Tafsir Jalalain, vol. 6, hal. 427)
Imam Ibnu Katsir Asy-Syafi’i Ad-Dimasyqi RHM berkata, “Adapun firman Allah pada ayat ini, hal ini pun merupakan salah satu dari sifat dan ciri khas orang-orang mukmin, seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka; dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal.” (Al-Anfal: 2)
Para salaf pun begitu lapang dada menerima kritikan dari orang lain. Salah satunya adalah Amirul Mukmini Umar bin Al Khaththab. Beliau merespon positif nasehat, peringatan dan kritikan, tanpa memandang dari siapa kritikan tersebut berasal.
Al Imam Al-Hafidz Jaluliddin As-Suyuthi dalam kitab tafsirnya, Ad-Durrul Mantsûr fî Tafsîril Ma’tsûr, saat menjelaskan Surat an-Nisa’ ayat 20 menyinggung kisah respon seorang perempuan terhadap isi pidato Umar bin Khaththab.
Suatu hari Umar bin Al Khaththab naik ke atas mimbar lalu berpidato di depan khalayak. “Wahai orang-orang, jangan kalian banyak-banyak dalam memberikan mas kawin kepada istri. Karena mahar Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya sebesar 400 dirham atau di bawah itu. Seandainya memperbanyak mahar berniliai takwa di sisi Allah dan mulia, jangan melampaui mereka. Aku tak pernah melihat ada lelaki yang menyerahkan mahar melebihi 400 dirham.”
Dalam riwayat lain, Sayyidina Umar mengancam akan memangkas setiap kelebihan dari mahar itu dan memasukkannya ke baitul mal.
Seorang perempuan Quraisy berdiri lalu melontarkan protes ketika Sayyidina Umar turun dari mimbar. “Hai Amirul Mu’minin, kau melarang orang-orang memberikan mahar kepada istri-istri mereka lebih dari 400 dirham?”
“Ya.” Jawab khalifah Umar.
Wanita itu menukas “Apakah kau tak pernah dengar Allah menurunkan ayat:
وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا
“… Kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak (sebagai mahar)…” (QS an-Nisa’: 20)
Mendapat protes dari seorang wanita, Umar pun membaca istighfar dan berujar, “Tiap Orang lebih paham ketimbang Umar.”
Ini adalah ungkapan Umar bin Al Khaththab yang rendah hati dan karakter kepemimpinannya yang tidak antikritik. Dalam riwayat lain ia mengatakan, “(Kali ini) perempuan benar, lelaki salah.”
Selanjutnya khalifah kedua ini kembali ke atas mimbar dan berkata, “Wahai khalayak, tadi aku larang kalian memberikan mahar kepada istri melebihi 400 dirham. Sekarang silakan siapa pun memberikan harta (sebagai mahar) menurut kehendaknya.”
Dan ini merupakan akhlak para salafus shalih kita radhiyallahu anhum, mereka sangat mudah sekali tunduk dan patuh terhadap nasihat dan ayat-ayat Allah, tidak ada rasa gengsi atau merasa harga dirinya direndahkan. Bahkan walaupun yang menasihatinya adalah seorang wanita.
Oleh karena itu jangan malu minta nasehat dan kritikan dari orang-orang yang agama, wawasan dan amanahnya dapat dipercaya. Jika ada seseorang yang hendak menasehatimu maka terimalah dengan baik. Jika apa yang dikatakannya benar maka pujilah Allah. Sedangkan jika apa yang dikatakannya salah maka pahalanya bagimu dan dosanya bagi dia. Jangan pernah menutup diri dari kritikan orang karena itu adalah wahana untuk selalu memacu berbenah diri. Wallahu a’lam bish shawwab.